I. Memahami Hukum Syariah
Memahami Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukum-hukumnya. Melalui hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam Islam ada dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh’I.
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan. Sebagai contoh: hukum yang menyangkut perintah seperti shalat, membayar zakat dll. Hukum wadh’I adalah hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai contoh: hukum waris.
II. Tujuan Hukum Syariah
Tujuan hukum syariah ada tiga macam, yaitu:
1. Pensucian jiwa, menjadikan muslim penyebar kebaikan bukan penyebab keburukan.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik dengan sesama muslim maupun non muslim.
3. Bermanfaat bagi seluruh alam semesta tidak hanya manusia.
III. Sumber Hukum
Sumber hukum dalam Islam ada lima, yaitu:
1. Al Qur’an
2. As Sunnah
3. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
4. Fatwa sahabat
5. Qiyas
IV. Pembagian Hukum Taklifi
Berdasarkan jumhur ulama (pendapat mayoritas ulama), hukum terbagi menjadi lima macam, yaitu:
1. Wajib yaitu suatu perintah yang apabila tidak dilaksanakan berdosa. Wajib terbagi menjadi dua macam:
Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buangnegeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yangsah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusandeliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandungkesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti HukumEropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksimemang ada perbedaannya.Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukumpidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masihmemerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingintransformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukummateril. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yangsederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lainpembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhankarena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan,dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkanbahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana didalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpasuatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenispemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelastidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjaradisebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterimaoleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yangmemperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besarmasyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegasdisebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatanakademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenispemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harusmempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaanmasyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalisdalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromidalam melaksanakan nash syar’iat yang tegas. Sementarakelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentukancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidakselalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompoktentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akandiuraikan dalam makalah ini.Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak eraIsmail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telahmenjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagaisumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidanayang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika adadelik pidana adat — seperti orang yang secara terbukamenyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untukmembunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalamKUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional.Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknyamengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalampemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikansebagai hubungan seksual di luar nikah.Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannyadipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yangmerumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah,tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian,menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikahantara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnyapasangan kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusanperzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengankesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambilrumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanyamengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidanapenjara.Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelasbahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalahhukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. MengingatIndonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, makadalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itutetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyaihukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka ituyang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukumperdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negaradapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam dibidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasionalkita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itusendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalammerumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertiansyariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi jugahukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan denganasas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita jugamenjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumberdalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukumpoistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukumnasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Adabeberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikansebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumberhukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia,katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka,selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernahmendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akanmenjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-teranganmenyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belumpernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudahmenjadi negara Adat.Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular,pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasionalsuatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegasmenyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yangmengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum Indiamodern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhismeterhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. HukumPerkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yangmengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitubesar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya inginmengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukumyang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidakdapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyatabertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri.Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya,maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakankehendaknya sendiri kepada rakyatnya.Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kitasemua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan
Wajib yang memiliki waktu yang luas disebut wajib muwassa. Keluasaan waktu itu memungkinkan kita untuk melaksanakan ibadah yang lain.
b. Wajib memiliki waktu yang terbatas disebut wajib mudhayyaq. Ibadah itu hanya dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan dan tak dapat dilakukan diluar waktu tersebut. sebagai contoh puasa di bulan Ramadhan, ibadah haji di bulan Dzulhijah.
2. Sunnah yaitu perbuatan yang apabila dilaksanakan berpahala dan bila tidak dilaksanakan ia akan merugi walaupun tidak berdosa. Sunnah terbagi menjadi tiga macam:
a. Sunnah Muakkad, yaitu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, contoh shalat dua rakaat setelah shubuh.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, yaitu sunnah yang dilakukan tidak secara kontinyu, contoh: shalat empat rakaat sebelum zhuhur.
c. Sunnah di bawah keduanya, yaitu kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW seperti bersiwak (sikat gigi).
3. Mubah yaitu kebebasan bagi muslim untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau meninggalkannya. Contoh makan, minum, dsb.
4. Makruh yaitu suatu larangan secara syara terhadap suatu perbuatan namun tidak bersifat pasti karena tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut, meninggalkan perbuatan tersebut terpuji dan mengerjakannya tercela.
5. Haram yaitu larangan untuk melakukan suatu pekerjaan baik yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i dan zhonni.
Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bila ditinggalkan perbuatan itu pelakunya akan mendapat pahala dan bila dilaksanakan berdosa. Haram ada dua macam, yaitu:
a. Haram li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh makan bangkai, minum khamr, berzina, dll.
b. Haram li-ghairi/aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syariat dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatihi. Sebagai contoh jual beli memakai riba, melihat aurat wanita, dll.
Referensi :
1. Ushul Fiqih, Prof. Muhammad Abu Zahrah
Silahkan tinggalkan komentar sahabat…