BISAKAH ANDA MENERIMA APA ADANYA?

Membaca kehidupan, adalah berlayar dalam kancah yang tak kita pahami sebelumnya. Tak jarang pelayaran harus mengalami amukan badai. Pelayaran dalam kehidupan semakin rumit dengan berbagai kesulitan yang membentang di depannya, jika dihadapi dengan sikap yang tak semestinya. Ketika itulah, manusia diuji ketangguhannya dalam menghadapi masalah.

Terkadang ingatan kita kembali ke masa lalu, sekedar mengingat-ingat setiap tindakan yang telah kita tempuh di masa itu, saat kita terbentur masalah yang mirip atau bahkan sama dengan masalah yang sedang kita hadapi saat ini. Untuk bahan pertimbangan agar langkah penyelesaian masalah yang ditempuh tidak keliru.

Lalu, setelah segenap kemampuan telah dikerahkan…segala ide telah diujikan. Bagaimana hasil yang tercapai?. Kadang berhasil dan sesuai dengan kemauan atau berhasil namun tidak seperti yang diinginkan. Bagaimana perasaan kita ya? Puas? Atau malah kecewa.

Bahwa manusia harus berikhtiar untuk setiap detik hidupnya. Tapi setelah semua ikhtiar itu. Kita harus tawakal, menyadari manusia hanyalah mampu berusaha sementara Allah-lah yang menetapkan segalanya. Di sanalah saat Qona’ah (menerima apa adanya) dibutuhkan untuk menyejukkan kepenatan kita setelah melakukan sekian banyak manuver untuk merubah hidup lebih baik.

Menerima apa adanya..karena kita menyadari hidup berjalan sesuai ketetapan Allah. Sehingga kita tidak akan menyesali nasib saat yang didapat tak seperti yang dimaui. Kita pun takkan sibuk mencari kambing hitam, menyalah-nyalahkan orang atas kegagalan yang kita alami. Sebab kita punya qona’ah itu. Dan qona’ah takkan terwujud tanpa sikap ridha terhadap takdir-Nya. Adakah pilihan lain bagi kita sebagai seorang hamba selain ridha atas segala ketetapan-Nya? Sebab setelah ridha kita akan bersabar, kemudian bersyukur, lalu…menerima apa adanya.

Pernah penulis membaca buku almarhum Imam Samudra (Aku Melawan Teroris). Terlepas dari segala ketidaksetujuan penulis terhadap pemikirannya tentang Bom Bali..namun ada satu kalimat di dalam buku itu yang menyentuh saya: ujian itu pasti, sabar itu pilihan.

Ujian adalah sebuah kepastian. Sementara kita punya pilihan untuk bersabar atau tidak. Tetapi, sabar adalah pilihan terbaik. Berangkat dari kesabaran, kita menjadi hamba yang pandai bersyukur, hamba yang pandai bersyukur akan mencapai qona’ah…menerima apa adanya.

Silahkan tinggalkan komentar sahabat…